Jerat Pidana Bagi Penghina Lambang Negara



Jerat Pidana Bagi Penghina Lambang Negara
Saya mau bertanya apa perbedaan antara lambang negara dan simbol negara serta apa sanksi bagi yang menghina lambang negara tersebut? Terima kasih.
Jawaban :
 Intisari:

Simbol negara dan lambang negara adalah dua istilah yang mempunyai arti yang sama, tidak ada perbedaan. Lambang negara merupakan salah satu simbol kedaulatan dan kehormatan negara, serta simbol identitas wujud eksistensi bangsa dan negara.

Setiap orang yang mencoret, menulisi, menggambari, atau membuat rusak Lambang Negara dengan maksud menodai, menghina, atau merendahkan kehormatan Lambang Negara dipidana dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau denda paling banyak Rp500 juta.

Namun, harus dilihat adakah maksud atau kesengajaan bagi orang tersebut untuk menghina. Dengan kata lain, harus ada kehendak jahat (mens rea) yang ditunjukan saat seseorang melakukan tindakan penghinaan terhadap lambang negara.

Penjelasan lebih lanjut dapat Anda simak dalam ulasan di bawah ini.


Ulasan:
Terima kasih atas pertanyaan Anda.
Simbol dan Lambang adalah Sama
Simbol dan Lambang merupakan dua istilah yang memiliki arti sama. Kamus Besar Bahasa Indonesia (“KBBI”) yang kami akses dari laman Badan Bahasa Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI memberikan arti kedua istilah tersebut sebagai berikut:
-    Simbol: lambang.
-    Lambang:
1.    sesuatu seperti tanda (lukisan, lencana, dan sebagainya) yang menyatakan suatu hal atau mengandung maksud tertentu; simbol
2.    tanda pengenal yang tetap (menyatakan sifat, keadaan, dan sebagainya)
3.    huruf atau tanda yg digunakan untuk menyatakan unsur, senyawa, sifat, atau satuan matematika
-    Lambang negarasimbol resmi suatu negara
Jadi, simbol negara dan lambang negara adalah dua istilah yang mempunyai arti yang sama, tidak ada perbedaan.
Di Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2009 Tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, Serta Lagu Kebangsaan (“UU 24/2009”), bendera, bahasa, dan lambang negara, serta lagu kebangsaan Indonesia merupakan simbol kedaulatan dan kehormatan negara, serta simbol identitas wujud eksistensi bangsa dan negara.[1] Ini menegaskan bahwa lambang negara adalah salah satu simbol negara.

Lambang Negara Indonesia
Lambang Negara Indonesia adalah Garuda Pancasila dengan semboyan Bhinneka Tunggal Ika.[2] Lambang Negara Kesatuan Republik Indonesia berbentuk Garuda Pancasila yang kepalanya menoleh lurus ke sebelah kanan, perisai berupa jantung yang digantung dengan rantai pada leher Garuda, dan semboyan Bhinneka Tunggal Ika ditulis di atas pita yang dicengkeram oleh Garuda.[3]

Sanksi Pidana Bagi yang Menghina Lambang Negara
Berikut kami uraikan pasal-pasal yang dapat dikenakan terhadap orang yang menghina lambang negara:
1.    Pasal 154a Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHP”)
“Barang siapa menodai bendera kebangsaan Republik Indonesia dan lambang Negara Republik Indonesia, diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun atau pidana denda paling banyak empat puluh lima ribu rupiah.”
Terkait pasal ini, R. Soesilo dalam bukunya Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal (hal. 133) menjelaskan bahwa “menodai” adalah perbuatan yang dilakukan dengan sengaja untuk menghina.

2.    Pasal 57 UU 24/2009:
Setiap orang dilarang:
a.    mencoret, menulisi, menggambari, atau membuat rusak Lambang Negara dengan maksud menodai, menghina, atau merendahkan kehormatan Lambang Negara;
b.    menggunakan Lambang Negara yang rusak dan tidak sesuai dengan bentuk, warna, dan perbandingan ukuran;
c.    membuat lambang untuk perseorangan, partai politik, perkumpulan, organisasi dan/atau perusahaan yang sama atau menyerupai Lambang Negara; dan
d.    menggunakan Lambang Negara untuk keperluan selain yang diatur dalam Undang-Undang ini.

Ancaman pidana bagi orang yang melanggar ketentuan di atas diatur dalam Pasal 68 UU 24/2009:
“Setiap orang yang mencoret, menulisi, menggambari, atau membuat rusak Lambang Negara dengan maksud menodai, menghina, atau merendahkan kehormatan Lambang Negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 57 huruf a, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).”

Dari bentuk-bentuk larangan terhadap lambang negara yang dimaksud di atas dapat kita lihat unsur-unsur pidananya:
-    setiap orang;
-    mencoret, menulisi, menggambari, atau membuat rusak lambang negara;
-    dengan maksud menodai, menghina, atau merendahkan kehormatan lambang negara.

Oleh karena itu, untuk dapat dihukum dengan pasal ini, orang tersebut harus memenuhi seluruh unsur-unsur pidananya terutama “dengan maksud” atau dengan sengaja menghina lambang negara dan unsur-unsur pidana itu perlu dibuktikan.
Contoh Kasus
Sebagai contoh kasus dapat kita lihat dalam artikel Ini Kata Pakar Pidana Soal Kasus Zaskia Gotik. Penyidik Polda Metro Jaya telah menemukan dugaan tindak pidana terkait tindakan Zaskia Gotik yang dianggap menghina lambang sila kelima Pancasila. Dugaan tindak pidana tersebut berupa pelanggaran Pasal 57 jo. Pasal 68 UU 24/2009. Zaskia dituduh menghina lambang negara saat ia mengikuti acara kuis untuk menjawab pertanyaan yang ditayangkan di salah satu stasiun televisi. Ia menyebut bahwa tanggal Kemerdekaan RI pada 32 Agustus dan lambang sila kelima bebek "nungging".

Menurut Pakar Hukum Pidana Universitas Indonesia, Gandjar Laksmana, polisi seharusnya tidak melupakan prinsip utama hukum pidana ketika memeriksa kasus ini. Gandjar mengatakan, meskipun perbuatan Zaskia Gotik memenuhi unsur pidana, tetapi belum tentu penyanyi dangdut itu layak dihukum. Sebab, penyidik harus mampu membuktikan adanya kehendak jahat (mens rea) yang ditunjukan Zaskia saat melakukan tindakan itu.

Lebih lanjut, Gandjar menjelaskan, di dalam hukum pidana tidak semua perbuatan yang memenuhi unsur pidana harus diberikan sanksi. Ada dua hal yang menjadi pertimbangan utama. Pertama, apakah dilakukan dengan melawan hukum. Kedua, apakah orangnya dapat dipersalahkan. Dalam hal ini, sekali lagi kita harus melihat konteks untuk bisa menilai apakah Zaskia Gotik melawan hukum dan bisa dipersalahkan atau tidak. Sebab, apa yang dilakukan Zaskia tidak lebih hanya sebatas hiburan. Menurutnya, hukum pidana harus tetap menunjung tinggi prinsip ultimum remedium. Artinya, sanksi pidana harus dijadikan senjata pamungkas dalam menyelesaikan suatu kasus.

Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.
Dasar Hukum:

Referensi:
1.    R. Soesilo. 1991. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal. Politeia: Bogor.
2.    Badan Bahasa Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI, diakses pada 21 Maret 2016 pukul 15.20 WIB.
Facebook Twitter Google+
Back To Top